Berat. Kenapa langkah gue berat banget?
Padahal dulu juga gue sering berangkat sekolah sambil lari-lari ngejar bis. Apa
karena gue mulai ketergantungan sama Harry? Dia selalu jemput ke rumah gue
sebelum sekolah, juga nganter gue pulang. Ya… itu sebelum dia ketahuan pacaran
sama gue…
Kapan ya gue terakhir gue bareng Harry…?
[start flashback]
Gue sama Harry abis jalan ke toko buku di
suatu mall. Tiba-tiba ada dua orang nyamperin gue sama Harry.
“Tuh, liat! Ayah, masa dia jalan sama
cewek lain!” teriak seorang cewek yang nggak lain adalah Mia.
“Harry, kamu ternyata!” seru seorang pria
paruh baya dengan geramnya, yang gue duga adalah ayahnya Mia.
“Padahal baru dua hari yang lalu dia
tunangan sama Mia!”
PLAK!
Gue shock begitu denger tamparan itu
mendarat di pipi Harry. Harry meringis kesakitan. Gue yang nggak mau
memperburuk keadaan, mencoba ngelepas genggaman Harry. Sayangnya genggaman itu
malah tambah erat. Bener-bener erat. Gue bingung…
“Kamu! Cewek macem apa kamu?! Udah tau
‘kan Harry udah tunangan sama anak saya?! Ganjen banget, sih!”
“Udah, Om! Ini bukan salah dia!” bentak
Harry yang langsung mendapat tamparan kedua dari Ayah Mia. Dan bekas tamparan
itu sekarang bener-bener berubah merah. Gue nggak sanggup ngeliatnya. Meskipun
bukan gue, tapi gue ngerasain sakitnya… di hati.
“Mmm… Gue pulang aja deh, Har.” Meskipun
gue udah bilang kayak gitu, tangannya tetep nggak mau lepas. “Har…” Sumpah, gue
udah mau nangis. Gue nggak kuat, tangan gue dingin…
“Gue anter!”
“Nggak ada! Ngapain sih kamu
nganter-nganter dia?! Oh, jadi kamu nggak bisa anter jemput Mia sekolah tuh
karena cewek ini, ya?” ayahnya Mia langsung ngelepas paksa tangan gue dari
Harry.
“Risa bisa pulang sendiri, ‘kan?” tanya
Mia dengan senyum semanis-manisnya.
“Iya.” jawab gue sambil ngebales
senyumnya. “Permisi…”
[flashback end]
Seperti ada setitik demi setitik air yang
jatuh dari langit. Gue langsung mendongak, satu tetes air hujan langsung jatuh
tepat ke mata gue. Perih. Gue nyari payung yang selalu gue bawa di dalem tas.
Jaga-jaga siapa tau gerimisnya makin deres.
PUK
“Risa!”
“Ah! Jangan ngagetin gitu dong!”
“Cie jalan sendiri…” ledek Dea.
“Hah? Dulu juga gini ‘kan? Nggak ada yang
berubah…”
“Yaaah, kapan ya terakhir kali lo
berangkat bareng Harry?”
“Kenapa yang gituan diinget-inget, sih?”
“Iya dong. Gue kangen Risa yang
kemana-mana sama Harry… Risa yang itu selalu lebih ceria daripada yang ini.”
jelas Dea sambil tersenyum, senyumannya miris.
“Maaf…”
Kira-kira tiga minggu… bukan, sebulan yang
lalu…? Bukan juga! Kira-kira TIGA BULAN YANG LALU, Harry dan Mia pindah
sekolah. Dan nggak nanggung-nanggung KE LUAR NEGERI!
Antara Risa dan Harry pun berakhir, kurang
jelas memang. Karena Harry dilarang keras menghubungi Risa, dalam bentuk apapun.
Pernah sekali Harry menelepon Risa. Tapi Risa tidak mengangkatnya. Dia sengaja.
[start flashback]
From: Harry
Kenapa telepon gue nggak diangkat? Tidur ya?
‘Jawab nggak ya?’ batin Risa. Dia ragu.
To: Harry
Emang lo nelepon?
From: Harry
Ya ampun… gue nelepon sampe sepuluh kali juga…
Lo kok gitu banget sih sama gue, Sa…
To: Harry
Gue harus gimana?
From: Harry
Lo nggak sakit? Nggak ada yang mau lo omongin soal waktu itu?
To: Harry
Sekarang sih gue nangisin lo juga nggak ada gunanya.
Kita udah bukan siapa-siapa lagi. Nggak bisa jadi siapa-siapa lagi.
Gue sih sedih, tapi gue bisa apa?
Kalo gue nggak ngalah…
Harry geregetan. Kenapa sih Risa mesti
ngirim setengah-setengah gitu?!
From: Harry
Kalo lo nggak ngalah…?
Lanjut dong!
To: Harry
Gue nggak suka dan nggak mau lo disakitin gara-gara gue.
[flashback end]
“Risa, liat PR… hehe” pinta Vita. “Lupa
buat…”
“Nih.” ujar Risa sambil memberikan bukunya
pada Vita.
“Sa, liat juga dong PR-nya.”
Seketika itu juga perasaan aneh menyerang
perut Risa. Dia nahan napas… bukan, lebih tepatnya nahan tangis yang mau
meledak. Dia juga nggak berani nengok ke arah suara yang barusan ngomong sama
dia.
“Harry?” tanya Dea yang akhirnya membuka
mulut. “Ngapain lo disini?”
“Eh, sesuka gue dong! Nggak usah nyolot
gitu!”
“Ih, maksud gue bukannya lo sekarang
tinggal di luar negeri?”
“Yaaaaaa, iya… tapi…” Harry nampak ragu
mau cerita gimana. “Panjanglah ceritanya…!” lanjutnya bingung.
Risa masih bingung harus gimana. Ini
terlalu mendadak. Dia belum menata hatinya. Jantungnya berdetak nggak karuan bagai
derap kuda yang tersandung-sandung.
Tes… tes…
“Yah, kan…” seru Vita panik. “Lo sih,
Har!”
“Yah, kok nangis sih?” tanya Harry ikutan
panik. Bukannya berhenti, Risa malah nangis sejadi-jadinya dan bikin Harry,
Vita, dan Dea bingung. “Jangan nangis dong…” Harry ngusap kepala Risa.
“Biar!” Risa pun ngambek. Rasanya Risa
pengen ngelempar Harry pake sepatu. ‘Ngapain lo segala tiba-tiba muncul?!’
Pekik Risa dalem hati.
‘Demi apa lo ngambek?!’ tanya Harry dalam
hati. Harry cuma bisa senyum-senyum. Nggak bisa… dia bener-bener kangen sama
Risa.
Kedua temennya cuma heran sama suasana
yang mengharu-biru-merah-kuning-hijau gini. Sedikit tapi perlahan, mereka pun
mundur… dan pergi dari tempat itu.
“Gue ceritain deh…” ujar Harry sambil
menghela napas. “Jadi… gue kabur.”
“Jangan…”
“Hah?”
“JANGAN TIBA-TIBA DATENG GINI! AH, GUE
BINGUNG HARRY!!!”
Harry senyum-senyum sendiri nggak jelas.
“Nggak usah bingung… tinggal bilanga aja lo masih mau nerima gue atau nggak…”
“Nggak tau…” jawab Risa sambil mengelap
air matanya dengan punggung tangannya.
“Kok nggak tau?!” tanya Harry pada Risa.
Entah apa yang terbesit di pikiran Risa.
Dia mau mencoba sesuatu… “Gue…” ujar Risa terputus. “Gue nggak bisa…”
“Kenapa emangnya, Sa? Lo udah nggak suka
lagi sama gue…?”
“Bukan itu… tapi… gue udah…” tanpa
berpikir panjang, Risa langsung menggaet seseorang yang mendatangi mejanya... untuk meminjam buku.
Orang itu kebingungan. “Jadian sama dia…”
“EEEEH?!” teriak Harry dan cowok itu, yang
akan kita ketahui bernama Ray, bersamaan.
“Seriusan?” tanya Harry.
“Cari tau aja sendiri!” seru Risa sambil
ngeledek Harry. “Dah, Ray!”
Seketika itu juga Harry mengejar Risa.
Risa meninggalkan Ray yang berdiri mematung dan menyisakan tanda tanya besar di
kepala Ray.
‘Emang… kapan gue jadian sama Risa?’
batinnya.
--THE END--