AUTHOR PoV
Di janji pertemuan kali itu, Harry bertekad
untuk mengatakannya. Sebenarnya dia nggak mau, tapi...
“Risa...”
“Ya?”
“Sorry, Sa...”
Harry terdiam. Dia cuma memandangi cappucino
yang dia pesan di cafe itu, sedikitpun belum dia teguk. Tingkah lakunya membuat
Risa penasaran, lebih ke bingung sebenarnya.
“Apaan sih, Har? Kenapa lesu gitu?”
“Gue dijodohin sama orangtua gue.”
Mau bagaimana lagi? Dia tidak ingin
berlama-lama dalam posisi menyimpan rahasia besar ini dari orang yang
disayanginya.
“Hmm... lo terima?”
“Gue nggak bisa nolak, Sa... Perusahaan ayah
gue bisa ancur...”
“Hmm, bisnis, ya? Kalo gitu mau gimana lagi?”
DEG!
Seketika hati Harry hancur. ‘Udah? Gitu
doang?’ tanya Harry dalam hati.
RISA PoV
DEG!
Eh?! Dijodohin?! Bisnis?!
“Risa...”
“Ya udahlah. Itu ‘kan permintaan orangtua lo.”
“Jadi lo ngerelain gue sama orang lain?”
“Mau gimana lagi? Gue bisa apa?”
Tiba-tiba Harry bangun dan langsung pergi ke
kasir, pasti bayar pesenan gue sama dia. Abis itu dia langsung aja ninggalin
gue sendirian.
NYUT
Kenapa? Lo marah? Apa lo kira gue nggak sedih?
Lo juga bilang lo nggak bisa nolak permintaan ayah lo tadi. Bukan lo doang, gue juga sakit
dengernya!
Sakit lho, Har…
HARRY PoV
Terus dia nggak ngapa-ngapain gitu? Cuma
pasrah aja? Temen-temen lo bilang, lo peduli sama gue. Mana? Bahkan lo pasrah
aja begitu tau gue dijodohin sama orang lain! Kenapa, Sa?! Kenapa lo nggak bisa
sedih? Kenapa lo nggak bisa nangis buat gue?!
Detak jantng gue nggak karuan. Napas gue
sesak. Kepala gue sakit. Anjir, Harry lo ‘kan cowok! Masa iya lo mau nangis?!
INI TEMPAT UMUM, LHO!
Gue nggak boleh nangis! Jadi gue cuma bisa
mukul-mukulin stir mobil.
“Risa!”
Nggak bisa... gue nggak boleh nangis...
Tes... tes...
AUTHOR PoV
Di temat yang berbeda namun di waktu yang
bersamaan, keduanya menunduk. Keduanya juga sama sama memegang dada
masing-masing, merasakan sakit yang menyembul keluar entah dari mana. Air mata
mereka pun jatuh, hati mereka saling menangisi satu sama lain. Kenyataan memang
pahit.
“Risa...”
“Harry...”
Keduanya menyebutkan nama orang yang merka
tangisi.
[start flasback]
“Gue udah makan nih!”
“Kenyang?”
“Risa! Jangan alihin pembicaraan kenapa, sih!”
“Kan gue nanya...”
“Gue mau jawaban lo!”
Risa nggak tau harus jawab apa. Ini semua
terlalu mendadak. Jantungnya nggak kuat kalo mesti gini terus. “Gue...”
Jantungnya mau meledak! Sambil menutup mukanya dengan kedua tangan, dia
menjawab, “Ah!”
“Kok malah teriak sih!?” seru Harry kaget,
juga bingung.
“Gue mau!” jawab Risa dalam tangkupan
tangannya. Jawabannya lebih terdengar seperti, ‘Huwe mwao!’
“Hah?”
“Gue mau!” kali ini tangannya hanya menutup
matanya. Tapi Harry masih tetap pura-pura nggak dengar.
“Yang jelas dong!” seru Harry sambil
tersenyum.
“Gue mau! Udah ah, jangan tanya lagi!” sahut
Risa malu-malu. Harry cuma terkekeh mendengarnya.
[flashback end]
RISA PoV
Kepala gue sakit. Mungkin semaleman gue
nangis. Bahkan gue tidur dalam tangisan gue. Makanya, pagi-pagi mata gue
bengkak. GAWAT!
Biasanya Harry jemput gue, tapi hari ini nggak...
nampaknya. Jadi gue berangkat naik bis aja. Apa dia nggak masuk sekolah? Masuk
nggak ya dia?
Biasanya dia nggak ngebolehin gue naik bis.
Dia bilang, “Jangan! Tunggu gue jemput lo! Awas aja berangkat duluan!” ujarnya
sambil nyubit pipi gue, sakit lho itu, sumpah! Bukan unyu-unyu gitu...
Ya, semenjak itu, dia rajin masuk sekolah.
Jarang bolos pelajaran juga, makanya temen-temen sekelas juga guru-guru pada
heran. Tapi pada dasarnya dia orangnya nggak peduli sama orang sekitar yang suka
ngomongin dia, jadi ya udah.
“Terserah mereka lah mau ngomong apaan juga.”
Hiks... Harry, lo kemana?
HARRY PoV
Keraguan pun
menghantui gue pagi ini. Biasanya gue jemput Risa. Tapi karen kejadian kemaren gue nggak tau
harus gimana. Bahkan tadi malem aja gue nggak sms dia, begitu juga sebaliknya. Jemput nggak ya? Jemput deh... mau minta maaf...
“Harry. Mau kemana?” tanya Ayah tiba-tiba,
baru aja gue mau ngeluarin mobil.
“Sekolah lah...”
“Udah, hari ini kamu ijin. Ikut Ayah ketemu
calon kamu.”
DEG!
GUE NGGAK MAU! GUE MAU KETEMU RISA! Tapi nggak
mungkinlah gue neriakin ayah kayak gitu. Lagian ini menyangkut karir ayah.
Sumber kehidupan gue juga...
“Harus hari ini, Yah?”
“Iya, anaknya bisanya hari ini.”
“Kenapa nggak hari libur aja, sih?”
“Nggak bisa, katanya cuma bisa hari ini...
Tolonglah, ijin sehari aja, Har... Ini urusan bisnis, lho. Kalo Ayah sampe
bangkrut ‘kan kamu juga yang susah nantinya.”
Ya, gue nggak bisa nolak permintaan penting
begitu, ‘kan?
Gue cuma bisa mendesah, desahan yang panjang.
Rasanya pengen jedotin kepala ke stir mobil! Tapi sakit. Jadi gue cuma nundukin
kepala di stir itu.
“Risa, maafin gue...”
--(to be continued)--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar