RISA PoV
Risa nggak berhenti-berhentinya
sesenggukan. Segimanapun Vita sama Dea nenangin dia, tetep aja air mata yang
keluar nggak berhenti-berhenti. Berkali-kali dia ngusap air matanya sendiri,
tetep aja nggak berhenti. Napasnya sesak.
“Harusnya gue tahan tadi…”
“Udahlah, Sa… bukan salah lo
kok…”
“Kalian jangan nyalahin dia terus
kenapa!”
“Gue bukan mau nyalahin dia… tapi
mungkin ini kehendak tuhan yang harus dia jalanin.”
“Ya ampun… kenapa harus dia…?”
tanya Risa, lebih kepada dirinya sendiri. “Jangan dia… Gue aja… jangan dia…”
“Risa, nggak boleh gitu…” satu
per satu, kedua temannya mulai ikut menangis. Suster-suster yang lalu lalang
pun memperhatikan mereka.
[start flashback]
Saat itu jam istirahat. Tiba-tiba
ponsel Risa bergetar. Ada panggilan masuk. Harry?
“Halo?”
“Halo?!” panggil suara di
seberang. “Nama kamu siapa?”
“Hah? Harry, lo apa-apaan sih?”
“Eh, ini, anu… Namanya Harry, ya?”
“Ini siapa sih?”
“Ah, dia kecelakaan. Sekarang ada
di RS!”
Risa membatu. Sebenarnya dia
nggak percaya. Tapi…
“Rumah sakit mana?”
[flashback end]
Ditengah acara tangis-menangis
gue dan kedua temen gue, tiba-tiba dokter keluar dari ruangan. Dia kebingungan
melihat kami bertiga yang sama-sama menangis.
“Kalian… teman-temannya Harry?”
Kami hanya mengangguk.
“Bagaimana keadaannya, dok?”
“Mm, benturan di kepalanya cukup
keras, tapi dia baik-baik saja. Banyak luka memar di tubuhnya. Dia sering
berkelahi, ya?” Gue mengangguk. “Hah, dasar anak muda jaman sekarang.”
“Dia baik-baik aja, dok?”
“Iya, tapi dia masih tidak
sadarkan diri. Kalian nggak menghubungi orang tuanya?”
“Dok, tolong nanti jangan bilang
pada orang tuanya tentang badannya yang penuh dengan luka…” ujar gue sambil
nunduk. “Saya mohon…”
Nggak lama setelah gue bilang
gitu, ibu Harry datang. Mereka terlihat panik. Ya iyalah, siapa yang nggak panik
anaknya kecelakaan?
“Dok, bagaimana keadaan anak
saya?” tanya ibu Harry.
“Dia baik-baik saja. Benturan di
kepalanya memang keras, tapi ternyata dia anak yang kuat.”
“Ah, syukurlah…” ujar ibu Harry. “Siapa
kalian?”
“Ah, kami teman sekolahnya.”
Ibu Harry mengajak kami masuk ke
kamar rawat Harry. Duh, mataku terlihat habis nangis nggak, ya? Kan malu…
“Terimakasih ya, sudah
mengabarkan tante.”
“Sama-sama tante.”
“Masalahnya anak ini tertutup
banget. Apalagi dia cuma tinggal sendiri dirumahnya.” ujar ibu Harry sambil
mengelus kepala anaknya. “Kalian bisa nggak jagain Harry? Sebenernya tante
sibuk, tapi tante pasti sempetin dateng ke sini tiap pagi sama sore…”
Mending tante minta tolong sama
pacarnya aja, deh.
HARRY PoV
“Aduh!”
Duh, kepala gue sakit. Gue dimana?
Bau obat… eh iya, waktu itu ‘kan mobil gue tabrakan sama truk. Ganjen banget
tuh truk… terus berarti sekarang gue ada di rumah sakit?
“Harry? Udah sadar ya?”
Kayaknya gw kenal nih suara.
KAYAKNYAAA….
“Risa?”
“Bukan, Yae lho…”
Eh, salah, ya? Sumpah, malu gue anjir!
“Eh, Harry udah sadar?” tanya
seseorang yang gue duga berada di dalam kamar kecil. Suaranya menggema. Gue tersenyum
kecil, gue kenal banget sama ini suara.
“Belum.” teriakku menyahutinya. Yae
tertawa.
“Ternyata emang nggak bisa ya,
Har.”
“Hah? Maksud lo?”
“Keliatan, lho.” ucap Yae. Jangan
bikin orang yang baru sadar bingung gini kenapa! Kenapa cewek kalo ngomong suka
berbelit-belit sih? “Lo dari dulu suka sama Risa, ‘kan?”
“Sok tau lo!” seru gue. Dia malah
nyengir. Kenapa dia bisa nebak gitu, sih? Padahal gue aja baru sadar soal itu…
sebelum kejadian ini. Ya, itu pertanyaan gue terakhir kali.
“Udahlah, gue tau. Gue ‘kan
merhatiin lo terus.”
“Iya, lo ‘kan suka sama gue.”
“Nah tuh tau. Hahaha.”
“Terus kita?”
“Udahlah. Waktu itu gue cuma
kesel sama dia yang deket banget sama lo. Padahal dia baik banget sama lo.”
“Kita selesai, nih? Mulai aja
belum…”
Tawa Yae kembali terlepas. Gue cuma
bisa ngeliatin dia dengan tatapan kebingungan. “Ya iyalah.” Jawabnya. Gue kembali
diserang rasa tidak enak hati. Kenapa gue jadi gini, sih?
“Maaf, ya.”
“Hmm. Gue nggak mau maksain lo,
kok.” balasnya sambil tersenyum. “Maaf juga, lo baru sadar udah gue ajak
ngobrolin ginian. Udah, gue balik dulu, ya. Cepet sembuh. Cepet kasih gue PJ
juga, hahaha.”
Dasar.
RISA PoV
Muka gue panas. Gue masuk ke
kamar mandi ini ‘kan cuma buat cuci tangan. Mereka sadar nggak sih, mereka
ngobrol kenceng banget? Mana bisa gue keluar kalo obrolannya private gitu. Ih!
“… Udah, gue balik dulu, ya…”
AKHIRNYA!!!
Nggak lama gue denger suara pintu
kebuka dan ketutup. Yae udah balik. Baru gw mau megang kenop pintu, BARU MAU GW
BUKA TUH PINTU! Tiba-tiba…
“Risa,” Dia manggil nama gue. Eh,
tolong! Gue deg-degan! “Mau sampe kapan lo di kamar mandi terus?”
“Sampe lo tidur lagi.”
“Eh, keluar lo!” serunya. “Tega
banget lo nyuruh gue nungguin lo selama itu. Gue nggak akan tidur lah kalo lo
nggak keluar!”
Ragu-ragu gue buka pintunya. “Kenapa?”
“Gue laper.”
“Mau makan apa?”
“Makan hati lo.”
DEG!
“A… apaan sih…”
“Sorry, Sa. Coba gue sadar lebih
cepet.”
“Iya, lo tuh pingsan lama banget.”
Sahut gue mengalihkan pembicaraan. Mencairkan suasana juga… SUASANA HATI GUE!!!
“Bukan itu, hoy!” balasnya. “Gue
seriusan!”
“Gue juga seriusan kali. Lo tidur
lama banget.” Sahut gue. “Setahun gue nugguin lo bangun.”
“Seriusan?” tanyanya panik.
“Kaga lah. Hahaha.” Jawab gue. Dia
langsung cemberut. “Udah lo laper, ‘kan? Mau makan apa?”
“Makan hati lo, Risa.”
“Apaan sih, Har. Seriusan gue.”
“Ya gue juga!” Tiba-tiba suasananya
hening seketika. Nggak lama dia menghela napas. “Gue baru sadar sebenernya gue
juga suka sama lo, Sa. Maaf, Sa…”
“Masa lo suka sama gue…”
“Ya, kalo gue nggak suka sama lo
nggak mungkin gue selalu nyari lo buat gue suruh-suruh.”
“Eh, itu bukannya…”
“Apa? Karena gue mau ngisengin
lo?” Gue ngangguk. “Nggak lah, Risa.”
“Terus kenapa cuma gue yang lo
suruh-suruh?”
HARRY PoV
“Karena gue mau lo marah sama
gue.”
“Hah?”
“Risa lo nggak sadar apa?” tanya
gue. Dia cuma menggeleng-gelengkan kepala. “Cuma gue yang perintahnya lo
turutin!”
“Well, karena nggak ada lagi yang
suka nyuruh-nyuruh gue selain lo.”
Ah, iya juga… “Bukan itu maksud
gue…”
“Ah, gue nggak ngerti Har.” Tukasnya
sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya, bingung. “Udah ah, lo makan dulu
aja, ya. Baru juga sadar, ngomongnya udah bikin otak gue berputar-putar.”
“Nih, singkatnya. Gue cuma mau
bergantung sama lo, Sa. Makanya gue selalu minta tolong sama lo. Bukan sama
yang lain.”
“Oh, terus?” Ih, ngeselin banget
ini cewek. Tapi sekilas gue liat, wajahnya memerah. Dia seneng gitu?
“Lo mau jadi pacar gue?”
“Makan dulu baru gue jadi pacar
lo!”
“Seriusan?”
“Makan dulu baru gue seriusan.”
Nggak berguna gue ngebantah dia
kali ini. Jadi, mending kali ini gue yang nurutin perintah dia.
AUTHOR PoV
Ya, begitulah akhirnya. Bentuk
perasaan mereka emang rumit, kayak fungsi limit dan fungsi trigonometri. Nggak aka
nada yang bisa ngerti akan hal itu. Tapi untung hasilnya sama.
--THE END--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar