Kamis, 09 Mei 2013

Okay, I'll do It (part 6 - END)


RISA PoV

Risa nggak berhenti-berhentinya sesenggukan. Segimanapun Vita sama Dea nenangin dia, tetep aja air mata yang keluar nggak berhenti-berhenti. Berkali-kali dia ngusap air matanya sendiri, tetep aja nggak berhenti. Napasnya sesak.
“Harusnya gue tahan tadi…”
“Udahlah, Sa… bukan salah lo kok…”
“Kalian jangan nyalahin dia terus kenapa!”
“Gue bukan mau nyalahin dia… tapi mungkin ini kehendak tuhan yang harus dia jalanin.”
“Ya ampun… kenapa harus dia…?” tanya Risa, lebih kepada dirinya sendiri. “Jangan dia… Gue aja… jangan dia…”
“Risa, nggak boleh gitu…” satu per satu, kedua temannya mulai ikut menangis. Suster-suster yang lalu lalang pun memperhatikan mereka.

[start flashback]

Saat itu jam istirahat. Tiba-tiba ponsel Risa bergetar. Ada panggilan masuk. Harry?
“Halo?”
“Halo?!” panggil suara di seberang. “Nama kamu siapa?”
“Hah? Harry, lo apa-apaan sih?”
“Eh, ini, anu… Namanya Harry, ya?”
“Ini siapa sih?”
“Ah, dia kecelakaan. Sekarang ada di RS!”
Risa membatu. Sebenarnya dia nggak percaya. Tapi…
“Rumah sakit mana?”

[flashback end]

Ditengah acara tangis-menangis gue dan kedua temen gue, tiba-tiba dokter keluar dari ruangan. Dia kebingungan melihat kami bertiga yang sama-sama menangis.
“Kalian… teman-temannya Harry?” Kami hanya mengangguk.
“Bagaimana keadaannya, dok?”
“Mm, benturan di kepalanya cukup keras, tapi dia baik-baik saja. Banyak luka memar di tubuhnya. Dia sering berkelahi, ya?” Gue mengangguk. “Hah, dasar anak muda jaman sekarang.”
“Dia baik-baik aja, dok?”
“Iya, tapi dia masih tidak sadarkan diri. Kalian nggak menghubungi orang tuanya?”
“Dok, tolong nanti jangan bilang pada orang tuanya tentang badannya yang penuh dengan luka…” ujar gue sambil nunduk. “Saya mohon…”
Nggak lama setelah gue bilang gitu, ibu Harry datang. Mereka terlihat panik. Ya iyalah, siapa yang nggak panik anaknya kecelakaan?
“Dok, bagaimana keadaan anak saya?” tanya ibu Harry.
“Dia baik-baik saja. Benturan di kepalanya memang keras, tapi ternyata dia anak yang kuat.”
“Ah, syukurlah…” ujar ibu Harry. “Siapa kalian?”
“Ah, kami teman sekolahnya.”
Ibu Harry mengajak kami masuk ke kamar rawat Harry. Duh, mataku terlihat habis nangis nggak, ya? Kan malu…
“Terimakasih ya, sudah mengabarkan tante.”
“Sama-sama tante.”
“Masalahnya anak ini tertutup banget. Apalagi dia cuma tinggal sendiri dirumahnya.” ujar ibu Harry sambil mengelus kepala anaknya. “Kalian bisa nggak jagain Harry? Sebenernya tante sibuk, tapi tante pasti sempetin dateng ke sini tiap pagi sama sore…”
Mending tante minta tolong sama pacarnya aja, deh.

HARRY PoV

“Aduh!”
Duh, kepala gue sakit. Gue dimana? Bau obat… eh iya, waktu itu ‘kan mobil gue tabrakan sama truk. Ganjen banget tuh truk… terus berarti sekarang gue ada di rumah sakit?
“Harry? Udah sadar ya?”
Kayaknya gw kenal nih suara. KAYAKNYAAA….
“Risa?”
“Bukan, Yae lho…”
Eh, salah, ya? Sumpah, malu gue anjir!
“Eh, Harry udah sadar?” tanya seseorang yang gue duga berada di dalam kamar kecil. Suaranya menggema. Gue tersenyum kecil, gue kenal banget sama ini suara.
“Belum.” teriakku menyahutinya. Yae tertawa.
“Ternyata emang nggak bisa ya, Har.”
“Hah? Maksud lo?”
“Keliatan, lho.” ucap Yae. Jangan bikin orang yang baru sadar bingung gini kenapa! Kenapa cewek kalo ngomong suka berbelit-belit sih? “Lo dari dulu suka sama Risa, ‘kan?”
“Sok tau lo!” seru gue. Dia malah nyengir. Kenapa dia bisa nebak gitu, sih? Padahal gue aja baru sadar soal itu… sebelum kejadian ini. Ya, itu pertanyaan gue terakhir kali.
“Udahlah, gue tau. Gue ‘kan merhatiin lo terus.”
“Iya, lo ‘kan suka sama gue.”
“Nah tuh tau. Hahaha.”
“Terus kita?”
“Udahlah. Waktu itu gue cuma kesel sama dia yang deket banget sama lo. Padahal dia baik banget sama lo.”
“Kita selesai, nih? Mulai aja belum…”
Tawa Yae kembali terlepas. Gue cuma bisa ngeliatin dia dengan tatapan kebingungan. “Ya iyalah.” Jawabnya. Gue kembali diserang rasa tidak enak hati. Kenapa gue jadi gini, sih?
“Maaf, ya.”
“Hmm. Gue nggak mau maksain lo, kok.” balasnya sambil tersenyum. “Maaf juga, lo baru sadar udah gue ajak ngobrolin ginian. Udah, gue balik dulu, ya. Cepet sembuh. Cepet kasih gue PJ juga, hahaha.”
Dasar.

RISA PoV

Muka gue panas. Gue masuk ke kamar mandi ini ‘kan cuma buat cuci tangan. Mereka sadar nggak sih, mereka ngobrol kenceng banget? Mana bisa gue keluar kalo obrolannya private gitu. Ih!
“… Udah, gue balik dulu, ya…”
AKHIRNYA!!!
Nggak lama gue denger suara pintu kebuka dan ketutup. Yae udah balik. Baru gw mau megang kenop pintu, BARU MAU GW BUKA TUH PINTU! Tiba-tiba…
“Risa,” Dia manggil nama gue. Eh, tolong! Gue deg-degan! “Mau sampe kapan lo di kamar mandi terus?”
“Sampe lo tidur lagi.”
“Eh, keluar lo!” serunya. “Tega banget lo nyuruh gue nungguin lo selama itu. Gue nggak akan tidur lah kalo lo nggak keluar!”
Ragu-ragu gue buka pintunya. “Kenapa?”
“Gue laper.”
“Mau makan apa?”
“Makan hati lo.”

DEG!

“A… apaan sih…”
“Sorry, Sa. Coba gue sadar lebih cepet.”
“Iya, lo tuh pingsan lama banget.” Sahut gue mengalihkan pembicaraan. Mencairkan suasana juga… SUASANA HATI GUE!!!
“Bukan itu, hoy!” balasnya. “Gue seriusan!”
“Gue juga seriusan kali. Lo tidur lama banget.” Sahut gue. “Setahun gue nugguin lo bangun.”
“Seriusan?” tanyanya panik.
“Kaga lah. Hahaha.” Jawab gue. Dia langsung cemberut. “Udah lo laper, ‘kan? Mau makan apa?”
“Makan hati lo, Risa.”
“Apaan sih, Har. Seriusan gue.”
“Ya gue juga!” Tiba-tiba suasananya hening seketika. Nggak lama dia menghela napas. “Gue baru sadar sebenernya gue juga suka sama lo, Sa. Maaf, Sa…”
“Masa lo suka sama gue…”
“Ya, kalo gue nggak suka sama lo nggak mungkin gue selalu nyari lo buat gue suruh-suruh.”
“Eh, itu bukannya…”
“Apa? Karena gue mau ngisengin lo?” Gue ngangguk. “Nggak lah, Risa.”
“Terus kenapa cuma gue yang lo suruh-suruh?”

HARRY PoV

“Karena gue mau lo marah sama gue.”
“Hah?”
“Risa lo nggak sadar apa?” tanya gue. Dia cuma menggeleng-gelengkan kepala. “Cuma gue yang perintahnya lo turutin!”
“Well, karena nggak ada lagi yang suka nyuruh-nyuruh gue selain lo.”
Ah, iya juga… “Bukan itu maksud gue…”
“Ah, gue nggak ngerti Har.” Tukasnya sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya, bingung. “Udah ah, lo makan dulu aja, ya. Baru juga sadar, ngomongnya udah bikin otak gue berputar-putar.”
“Nih, singkatnya. Gue cuma mau bergantung sama lo, Sa. Makanya gue selalu minta tolong sama lo. Bukan sama yang lain.”
“Oh, terus?” Ih, ngeselin banget ini cewek. Tapi sekilas gue liat, wajahnya memerah. Dia seneng gitu?
“Lo mau jadi pacar gue?”
“Makan dulu baru gue jadi pacar lo!”
“Seriusan?”
“Makan dulu baru gue seriusan.”
Nggak berguna gue ngebantah dia kali ini. Jadi, mending kali ini gue yang nurutin perintah dia.

AUTHOR PoV

Ya, begitulah akhirnya. Bentuk perasaan mereka emang rumit, kayak fungsi limit dan fungsi trigonometri. Nggak aka nada yang bisa ngerti akan hal itu. Tapi untung hasilnya sama.



--THE END--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar